Hadis tentang Hak Istri atas Suami (Studi Hadis Ahkam)

BAB I

PENDAHULUAN

  1. 1.             Latar Belakang Masalah

Kebahagiaan keluarga tidak akan tercukupi tanpa tercukupinya nafkah. Nafkah merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan keluarga. Kabahagiaan keluarga sulit dicapai tanpa terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Ketiga hal tersebut merupakan sarana mutlak bagi kehidupan manusia, terlebih lagi bagi suami istri.[1]

Nafkah menjadi hak dari berbagai hak istri atas suaminya sejak mendirikan kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu, syariat Islam menetapkan, baik istri kaya maupun fakir dari teks-teks al-Qur’an yang memberi kesaksian tentang hak itu perkataan Allah Yang Maha Benar:

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya…” (QS. Ath-Thalaq:7).[2]

Firman Allah SWT:

وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوف….

“…Dan bagi (para) suami berkewajiban menanggung makan dan sandang bagi para istri dengan cara yang ma’ruf (baik)…” (QS. Al-Baqarah : 233).

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ

Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu (QS. Ath-Talaq : 6).

Dalam hadis riwayat Muslim juga disebutkan bahwa:

“Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Dinar yang enagkau sedekahkan di jalan Allah, dinar yang engkau sedekahkan untuk budak perempuan, dinar yang enagkau sedekahkan untuk orang miskin, dinar yang engkau sedekahkan untuk keluargamu, yang lebih utama pahalanya adalah sedekah yang engkau berikan untuk keluargamu”.[3]

Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis di atas kiranya sudah mencerminkan tanggung jawab dan kewajiban suami terhadap istri dan juga anak-anaknya. Akan tetapi, dewasa ini banyak  fenomena yang terjadi justru sebaliknya, suami yang berpangku tangan di rumah sedangkan istrinya yang sibuk mencari kerja. Bagaimanapun juga, mencari nafkah berupa sandang, pangan, dan papan menjadi tanggung jawab suami yang utama, kalaupun istri yang mencari nafkah menurut saya sudah pengecualian karena alasan-alsan tertentu yang sangat darurat.

Melihat hal tersebut, penulis berusaha menjelaskan tentang bagaimana hak istri atas suami (kewajiban suami terhadap istri dan juga anak-anak) dalam Islam. Bagaimana Islam memandang kewajiban suami yang begitu berat dalam menghidupi rumah tangga dan apa saja batasan nafkah yang harus dicari oleh suami. Semoga kita lebih mengetahui tentang hal tersebut dengan makalah ini.

 

  1. 2.             Rumusan Masalah
    1. Apa nash hadis tentang hak istri atas suami?
    2. Bagaimana takhrij dan tahqiq hadis tersebut?
    3. Bagaimana penjelasan matan dari hadis tersebut?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. 1.             Teks Hadis

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ أَخْبَرَنَا أَبُو قَزَعَةَ الْبَاهِلِيُّ عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ قَالَ أَبُو دَاوُد وَلَا تُقَبِّحْ أَنْ تَقُولَ قَبَّحَكِ اللَّهُ

(ABU DAUD – 1830) : “Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma’Il, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah mengabarkan kepada kami Abu Qaza’ah Al Bahali, dari Hakim bin Mu’awiyah Al Qusyairi dari ayahnya, ia berkata; aku katakan; wahai Rasulullah, apakah hak isteri salah seorang diantara kami atasnya? Beliau berkata: “Engkau memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian, janganlah engkau memukul wajah, jangan engkau menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian), dan jangan engkau tinggalkan kecuali di dalam rumah.” Abu Daud berkata; dan janganlah engkau menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian) dengan mengatakan; semoga Allah memburukkan wajahmu.”[4]

 

  1. 2.             Takhrij Hadis

ر ق م

المصدر

البا ب

الكتاب

رقم الحديث

1.

أحمد

حديث بهز بن حكيم عن أبيه عن جده رضي

مسند أحمد

19171[5]

 

حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ أَخْبَرَنَا أَبُو قَزَعَةَ الْبَاهِلِيُّ عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ

أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ مَا أَتَيْتُكَ حَتَّى حَلَفْتُ عَدَدَ أَصَابِعِي هَذِهِ أَنْ لَا آتِيَكَ أَرَانَا عَفَّانُ وَطَبَّقَ كَفَّيْهِ فَبِالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا الَّذِي بَعَثَكَ بِهِ قَالَ الْإِسْلَامُ قَالَ وَمَا الْإِسْلَامُ قَالَ أَنْ يُسْلِمَ قَلْبُكَ لِلَّهِ تَعَالَى وَأَنْ تُوَجِّهَ وَجْهَكَ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى وَتُصَلِّيَ الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ أَخَوَانِ نَصِيرَانِ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ أَحَدٍ تَوْبَةً أَشْرَكَ بَعْدَ إِسْلَامِهِ قُلْتُ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ تُطْعِمُهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ قَالَ تُحْشَرُونَ هَاهُنَا وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ إِلَى نَحْوِ الشَّامِ مُشَاةً وَرُكْبَانًا وَعَلَى وُجُوهِكُمْ تُعْرَضُونَ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى وَعَلَى أَفْوَاهِكُمْ الْفِدَامُ وَأَوَّلُ مَا يُعْرِبُ عَنْ أَحَدِكُمْ فَخِذُهُ وَقَالَ مَا مِنْ مَوْلًى يَأْتِي مَوْلًى لَهُ فَيَسْأَلُهُ مِنْ فَضْلٍ عِنْدَهُ فَيَمْنَعُهُ إِلَّا جَعَلَهُ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ شُجَاعًا يَنْهَسُهُ قَبْلَ الْقَضَاءِ قَالَ عَفَّانُ يَعْنِي بِالْمَوْلَى ابْنَ عَمِّهِ قَالَ وَقَالَ إِنَّ رَجُلًا مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَغَسَهُ اللَّهُ تَعَالَى مَالًا وَوَلَدًا حَتَّى ذَهَبَ عَصْرٌ وَجَاءَ آخَرُ فَلَمَّا احْتُضِرَ قَالَ لِوَلَدِهِ أَيَّ أَبٍ كُنْتُ لَكُمْ قَالُوا خَيْرَ أَبٍ فَقَالَ هَلْ أَنْتُمْ مُطِيعِيَّ وَإِلَّا أَخَذْتُ مَالِي مِنْكُمْ انْظُرُوا إِذَا أَنَا مُتُّ أَنْ تُحَرِّقُونِي حَتَّى تَدَعُونِي حُمَمًا ثُمَّ اهْرُسُونِي بِالْمِهْرَاسِ وَأَدَارَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ حِذَاءَ رُكْبَتَيْهِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفَعَلُوا وَاللَّهِ وَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ هَكَذَا ثُمَّ اذْرُونِي فِي يَوْمٍ رَاحٍ لَعَلِّي أَضِلُّ اللَّهَ تَعَالَى كَذَا قَالَ عَفَّانُ قَالَ أَبِي وَقَالَ مُهَنَّا أَبُو شِبْلٍ عَنْ حَمَّادٍ أَضِلُّ اللَّهَ فَفَعَلُوا وَاللَّهِ ذَاكَ فَإِذَا هُوَ قَائِمٌ فِي قَبْضَةِ اللَّهِ تَعَالَى فَقَالَ يَا ابْنَ آدَمَ مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا فَعَلْتَهُ قَالَ مِنْ مَخَافَتِكَ قَالَ فَتَلَافَاهُ اللَّهُ تَعَالَى بِهَا

(AHMAD – 19171) : Telah menceritakan kepada kami ‘Affan, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah, telah mengabarkan pada kami Abu Qar’ah Al Bahili dari Hakim bin Mu’awiyah dari Ayahnya ia berkata; Aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu aku berkata; “Tidaklah aku datang kepadamu kecuali aku telah bersumpah dengan beberapa jariku ini bahwa aku tidak akan datang kepadamu -‘Affan memperlihatkan dan menengadahkan telapaknya- Demi dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, dengan apakah kamu di utus?.” Beliau menjawab: “Dengan Islam.” Mu’awiyah bertanya; “Apakah Islam itu?.” Beliau menjawab: “Hendaknya engkau serahkan jiwamu sepenuhnya hanya pada Allah Ta’ala dan engkau menghadapkan wajahmu hanya kepada Allah saja, engkau mengerjakan shalat, menunaikan zakat, itulah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dan Allah Azza Wa Jalla tidak akan menerima taubat seorang hamba yang menyekutukan-Nya setelah ia masuk Islam.” Aku bertanya; “Lalu apa hak istri terhadap kita (suami)?.” Beliau menjawab: “Engkau memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian, jangan memukul wajah, jangan menjelekkannya dan jangan memisahkan tempat tidur kecuali dalam satu rumah.” Beliau melanjutkan: “Kalian akan dikumpulkan di sana, (seraya menunjukkan tangannya ke arah Syam) dalam keadaan berjalan kaki dan berkendaraan, wajah kalian akan ditampakkan semua dihadapan Allah, mulut-mulut kalian akan dikunci dan yang pertama kali akan berkomentar adalah paha (kaki-kaki) kalian.” Beliau melanjutkan lagi: “Dan siapa saja dari seorang budak yang meminta kelebihan dari harta tuannya, namun tuannya tidak memberinya, melainkan Allah Ta’ala akan menjadikan untuknya seekor ular besar bernama Syuja’, dan Ular itu akan menghancurkannya sebelum diputuskannya perkara.” ‘Affan seorang budak milik anak pamannya berkata; “Sesungguhnya sebelum kalian ada seseorang yang Allah Ta’ala karuniai harta dan anak-anak, hingga zaman berganti dengan generasi setelahnya. Sewaktu ayahnya hendak meninggal, ia berkata kepada anaknya; “Buat kalian, ayah macam apakah aku ini? Mereka berkata; ‘Ayah adalah orang yang terbaik!.’ Dia berkata lagi; ‘Apakah kalian akan mentaatiku?, kalau tidak, maka aku akan mengambil semua hartaku dari kalian!.’ ‘Lihatlah oleh kalian, jika nanti aku telah meninggal dunia, maka bakarlah aku hingga diriku menjadi arang.’ Kemudian tumbuklah (arangku) hingga halus dengan alat penumbuk -Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sambil mendemontrasikan dengan memutar-mutar dengan kedua tangannya sejajar kedua lututnya- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bersabda: “Kemudian mereka melakukan wasiat ayahnya.” Demi Allah Nabiyullah shallallahu ‘alaihi wasallam mempraktekkan dengan tangannya seperti ini, – ‘Kemudian tebarkanlah (abuku) pada hari yang anginya kencang, supaya Allah Ta’ala tidak dapat menemukanku.’ -demikianlah yang di katakan ‘Affan, Ayahku berkata; dan Muhanna Abu Syibl mengatakan dari Hammad dengan redaksi -supaya diriku tidak dapat di temukan Allah- lalu anak-anaknya melaksanakan perintah ayahnya, demi Allah, ternyata dirinya telah berdiri tegak dalam genggaman Allah Ta’ala. Maka Allah bertanya kepadanya: ‘Wahai anak Adam, apa yang membuatmu melakukan hal ini (membakar diri)?.’ Lak-laki itu menjawab; ‘Ya Rabb-ku, karena aku takut kepada-Mu!.’ Maka Allah Ta’ala pun mengampuni perbuatannya.”[6]

  1. 3.             Tahqiq Hadis

Hadis tersebut berkualitas hasan shahih, hal ini berdasarkan tahqiq yang dilakukan oleh Al-Albani.

الراوي: معاوية القشيري المحدث: الألباني – المصدر: صحيح أبي داود – الصفحة أو الرقم: 2143
خلاصة حكم المحدث: حسن صحيح[7]

Skema Jalur Sanad

 

           
   
 
     
 
   
 
     
 
   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

       
     
 
   

 

 

 

 

 

Suwaid bin Hujair bin

 

           
     
 
   
 
     
 
     

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. Nama Lengkap  : Mu’awiyah bin Hayyadah bin Mu’awiyah bin Qusyair bin Ka’ab bin Rabi’ah bin ‘amar bin sa’sahah

Kalangan           : Tabi’in kalangan pertengahan

Kuniyah             : Abu Hakim

Negeri semasa hidup : Bashrah

Wafat                 : Khurasan

 

Ulama

Komentar

Ibnu Hajar al ‘asqalani

Sahabat

Adz Dzahabi

Sahabat

 

  1. Nama Lengkap  : Hakim bin Mu’awiyah bin Haydah

Kalangan           : Tabi’in kalangan pertengahan bin Mu’awiyah bin Qusyair bin Ka’ab bin Rabi’ah bin ‘amar bin sa’sahah

Kuniyah             :

Negeri semasa hidup : Bashrah

Wafat                 :

 

 

ULAMA

KOMENTAR

Al ‘Ajli Tabi’i

Tsiqah

An Nasai

Laisa bihi ba’s

Ibnu Hibban

Disebutkan dalam ats tsiqah

Ibnu Hajar al ‘asqalani

Shaduuq

 

  1. Nama Lengkap  : Suwaid bin Hujair bin Bayan

Kalangan           : Tabi’in kalangan biasa

Kuniyah             : Abu Qaza’ah

Negeri semasa hidup : Bashrah

Wafat                 :

 

ULAMA

KOMENTAR

Ahmad bin Hanbal

Tsiqah

Abu Daud

Tsiqah

An-Nasa’i

Tsiqah

Ibnul Madini

Tsiqah

Al ‘Ajli

Tsiqah

Abu Hatim

Shalih

Al Bazzar

Laisa bihi ba’s

Ibnu Hibban

disebutkan dalam ‘ats tsiqaat

Ibnu Hajar Al Atsqalani

Tsiqah

 

  1. Nama Lengkap  : Hammad bin Salamah bin Dinar

Kalangan           : Tabi’ut Tabi’in kalangan pertengahan

Kuniyah             : Abu Salamah

Negeri semasa hidup : Bashrah

Wafat                 : 167 H

Lahir                  : 90 H

Laqab                 :Ibnu Abi Shahrah

Nasab                 :Basyri

 

ULAMA

KOMENTAR

An Nasa’i

Tsiqah

Yahya bin Ma’in

Tsiqah

Al ‘Ajli

Tsiqah

Muhammad bin Sa’d

Tsiqah

Ibnu Hibban

Diperselisihkan statusnya sebagai sahabat

 

  1. Nama Lengkap  : Musa bin Isma’il

Kalangan           : Tabi’ut Tabi’in kalangan pertengahan

Kuniyah             : Abu Salamah

Negeri semasa hidup : Bashrah

Negeri wafat              : Bashrah

Wafat                 : 223 H[8]         

ULAMA

KOMENTAR

Yahya bin Ma’in

tsiqah ma`mun

Ibnu Sa’d

Tsiqah

Abu Hatim

Tsiqah

Ibnu Hibban

disebutkan dalam ‘ats tsiqaat

Al ‘Ajli

Tsiqah

Ibnu Kharasy

Shaduuq

Ibnu Hajar al ‘Asqalani

tsiqah tsabat

Adz Dzahabi

Hafizh

 

  1. 4.             Penjelasan Matan Hadis

Al-Qur’an telah menentukan hak-hak yang dapat diterima oleh seseorang istri atas suaminya. Batasan yang pertama adalah bahwa dia mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang dengan apa yang didapatkan oleh suaminya, atas dasar firman Allah:

4 £`çlm;ur ã@÷WÏB “Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_u‘yŠ 3 ª!$#ur ͕tã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ  

 dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqarah : 228)

Nash al-Qur’an di atas sangat jelas menunjukkan bahwa hak-hak dan kewajiban-kewajiban suami dan istri betul-betul seimbang. Maka bagi seorang suami hendaknya memberikan hak-hak istrinya sesuai dan seimbang dengan kewajiban-kewajibannya, tanpa ada perlakuan berat sebelah si antara mereka karena ada perbedaan jenis kelamin.[9]

Syariat Islam telah menetapkan bahwa seorang suami wajib memberikan jaminan dari segi material kepada wanita yang telah ia pilih menjadi istrinya.

Islam pun telah mengkategorikan nafkah sebagai salah satu hak istrinya, baik sang istri itu orang kayamaupun orang miskin. Hal ini didasarkan pada beberapa nas Al-Qur’an al-Karim dan sunah Nabi SAW, yang menjadi dasar pendapat berbagau madzhab fikih.[10]

Dalam keluarga, sandang, pangan, dan papan menjadi tanggung jawab suami. Suami adalah pemimpin bagi istrinya sekaligus bertanggung jawab memenuhi nafkah keluarganya. Karena kaum lelaki telah diberi beberapa kelebihan oleh Allah SWT, sebagaimana difirmankan Allah dalam al-Qur’an:

ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% ’n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4’n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4

“Kaum lelaki adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (kaum lelaki) atas sebagian yang lain  (kaum perempuan) dan karena mereka manafkahkan sebagian dari hartanya…” (QS. An-Nisa : 34).

Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 34 di atas menunjukkan bahwa nafkah keluarga adalah menjadi kewajiban dan tanggunga jawab suami. Karena itu, suami harus menyadari kewajiban dan tanggung jawabnya yang satu ini.[11]

Selain itu, di antara nas yang menjadi dasar hukum persoaln ini ialah firman Allah SWT:

…. لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya…” (QS. Ath-Thalaq:7)

Adapun dalil dari sunah Nabi SAW adalah sabda beliau pada saat Haji Wada’:

“ Ketahuilah hendaknya kalian memperlakukan kaum wanita dengan baik, karena sesungguhnya mereka adalah tawanan bagi kalian. Kalian tidak memiliki hak dari mereka selain itu. Kecuali, jika mereka jelas-jelas melakukan kekejian. Apabila mereka melakukan kekejian, tinggalkanlah mereka dan tidurlah secara terpisah. Pukullah mereka dengan pukulan yang tidak mencederai mereka. Jika mereka taat dan patuh kepada kalian, janganlah kalian menghalang-halangi jalan mereka. Ketahuilah, kalian mempunyai hak atas istri kalian, dan istri kalian juga memiliki hak atas kalian. Hak kalian atas mereka ialah bahwa kalian boleh melarang mereka untuk tidak memasukkan siapa pun yang tidak kalian sukai, dan tidak mengijinkan orang-orang yang tidak kamu senangi untuk memasuki rumah kalian. Ketahuilah, hak mereka atas kalian ialah memberikan pakaian dan makanan yang baik kepada mereka.[12]

Nafkah keluarga menyangkut nafkah istri, anak-anak, pembantu rumah tangga (kalau ada) dan semua orang yang menjadi tanggungannya. Orang tua dan saudara-saudaranya yang tidak mampu menanggung nafkah, secara hukum menjadi tanggung jawab kepala keluarga yang bersangkutan.

Suami hendaknya berusaha sekuat tenaga agar dapat menjadi nafkah keluarga dengan nafkah yang halal dan diperoleh dengan jalan yang diridhai Allah SWT. Suami tidak pantas berpangku tangan dan juga tidak selayaknya berlaku kikir terhadap orang-orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Ia harus memberikan nafkah keluarga secara ikhlas karena mengharap ridha Allah dan demi kebahagiaan keluarganya.

  1. 1.             Macam-macam Nafkah Keluarga
  2. a.             Sandang dan Pangan

Kebutuhan sandang dan pangan, termasuk di dalmnya kebutuhan suami itu sendiri, menjadi tanggung jawab suami. Hal ini difirmankan oleh Allah SWT:

.. .. وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوف….

“…Dan bagi (para) suami berkewajiban menanggung makan dan sandang bagi para istri dengan cara yang ma’ruf (baik)…” (QS. Al-Baqarah : 233).[13]

Makanan sebagai sumber energi manusia merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Secara lahiriah, manusia tak akan hidup tanpa makanan. Ia bisa bekerja dengan baik, bisa beribadah dan melakukan aktifitas lainnya, apabila perutnya terisi makanan yang cukup.

Demikian halnya dengan pakaian. Ia menjadi sarana pokok untuk melindungi tubuh, menutup aurat dan kelengkapan beribadah menghadap Tuhan.

  1. b.             Papan (Rumah Tempat Tinggal)

Rumah, sebagai tempat tinggal keluarga, juga menjadi kewajiban suami. Suami bertanggung jawab atas tersedianya papan (rumah) bagi keluarganya. Hal ini diperintahkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

…. أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم

“Tempatkanlah istri-istri kalian di mana kalian bertempat tinggal…” (QS. Ath-Talaq : 6).

Papan merupakan sarana mutlak tempat bertemunya suami dan istri, sebagai tempat istirahat melepaskan lelah, tempat mengasuh anak-anak dan seterusnya.[14]

  1. c.              Biaya Pendidikan Anak

Termasuk nafkah keluarga yang harus dipenuhi oleh para suami ialah biaya pendidikan anak. Hal ini diisyaratkan dalam Al-Qur’an:

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. At-Tahrim : 6).

Agar keluarga terhindar dari api siksaan neraka, mereka perlu memahami ilmu-ilmu yang berkenaan dengannya. Untuk memahami ilmu-ilmu tersebut, mereka harus belajar di lembaga-lembaga pendidikan yang sesuai. Dan untuk belajar di lembaga-lembaga pendidikan, terutama pada zaman sekarang ini, diperlukan biaya yang cukup.

Dengan demikian, biaya pendidikan anak-anak juga termasuk nafkah keluarga yang mesti dipenuhi suami.

  1. 2.             Kadar Nafkah Keluarga
  2. a.             Kadar Nafkah Disesuaikan dengan Kemampuan Suami

Dalam hal nafkah keluarga, istri dituntut untuk tidak membebani suami di luar kemampuannya. Suami hanya berkewajiban memberikan nafkah sesuai dengan kemampuannya. Hal ini bisa dipahami dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis berikut:

“…Dan bagi (para) suami berkewajiban menanggung makan dan sandang bagi para istri dengan cara yang ma’ruf (baik). Seseorang tidak dibebani tanggung jawab melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (QS. Al-Baqarah : 233).[15]

Rasulullah SAW bersabda:

“… Hendaklah kamu memberi makan kepadanya (istri) apabila kamu makan dan berilah pakaian istrimu apabila kamu berpakaian…” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).

  1. b.             Tidak Kikir dan Tidak Berlebihan

Sifat kikir dan berlebihan merupakan sifat tercela dalam Islam. Allah SWT memerintahkan agar membelanjakan harta scara sederhana atau sedang-sedang, tidak perlu berlebih-lebihan dan juga berlaku kikir. Hal ini difirmankan dalam Al-Qur’an:

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (hartanya) tidak berlebihan dan tidak kikir, tetapi di tengah-tengah antara keduanya” (QS. Al-Furqan : 67)

Dalam ayat lain juga difirmanakan:

“Dan berikanlah hak para keluarga dekat, fakir miskin dan orang yang dalm perjalanan tanpa memberikannya secara berlebih-lebihan (boros). Sesungguhnya para pemboros itu adalah kawan syaitan, sedangkan syaitan teramat ingkar kepada Tuhannya” (QS. Al-Isra : 26-27)

Berlaku kikir dalam memberikan nafkah keluarga sangat dikecam oleh Rasulullah SAW, sebagaimana disabdakan dalam hadis:

“Seseorang akan berdosa bila menahan hartanya dari orang yang menjadi tanggungannya” (HR. Muslim dan Abu Daud).

“Seburuk-buruk suami adalah yang kikir dalam memberikan nafkah kepada keluarganya” (HR. Ath-Thabari)

Karena itu, suami hendaknya sedang-sedang dalam memberikan nafkah kepada keluarganya. Hal ini disabdakan oleh Rasulullah SAW:

“…dan tidak akan pelit, orang yang sedang-sedang dalam membelanjakan hartanya”.(HR. Ath-Thabari).

  1. 3.             Mengutamakan Nafkah Keluarga

Suami yang baik senantiasa melakukan yang terbaik bagi keluarganya. Ia berbuat demi kebahagiaan istri dan anak-anaknya. Ia senantiasa mengutamakan nafkah keluarga dalam membelanjakan hartanya di atas kepentngan-kepentingan lainnya.

Suami hendaknya pandai-pandai membelanjakan hartanya, mana yang lebih penting, itulah yang didahulukan. Membelanjakan harta untuk shadaqah di jalan Allah adalah hal yang utama, tetapi jika tidak mampu janganlah dipaksakan. Jangan sampai tindakannnya justru melupakan nafkah keluarga. Hal ini dijelaskan Rasulullah SAW:

“Satu dinar kamu infaqkan di jalan Allah, satu dinar kamu infaqkan untuk memerdekakan seorang budak, satu dinar kamu shadaqahkan kepada orang miskin dan satu dinar kamu nafkahkan kepada keluargamu. Pahala yang paling besar diantara semuanya adalah yang kamu nafkahkan kepada keluargamu. (HR. Muslim).[16]

Berdasarkan hadis tersebut, tidak ada alasan bagi suami untuk mengutamakan infaq-infaq di jalan Allah namun mengabaikan nafkah keluarganya sendiri.

Rasulullah SAW juga memberikan penjelasan tentang urutan memberikan nafkah, sebagaimana disebutkan dalam hadisnya yang berbunyi:

“Pernah seseorang menghadap Rasulullah SAW seraya bertanya: Ya Rasulullah, aku memiliki uang satu dinar (sebaiknya dibelanjakan kepada siapa?). jawab Rasulullah SAW: Belanjakanlah untuk kepentingan dirimu sendiri! Orang itu bertanya: Jika orang itu punya satu dinar lagi? Jawab Rasulullah: Belanjakanlah untuk kepentingan anak-anakmu! Orang itu bertanya lagi: jika aku punya satu dinar lagi? Jawabnya: Belanjakanlah untuk kepentingan istrimu! Tanyanya lagi: jika aku punya satu dinar lagi? Jawabnya: Belanjakanlah untuk kepentingan pembantumu! Tanyanya lagi: Jika aku punya satu dinar lagi? Jawabnya: Kamu sendiri lebih mengetahui!” (HR. Abu Daud).

Berdasarkan hadis tersebut jelaslah bahwa urutan membelanjakan harta adalah mengutamakan diri sendiri beserta keluarga yang menjadi tanggungannya, baru kemudian untuk kepentingan lainnya.

  1. 4.             Memberikan Nafkah Keluarga dengan Tulus Ikhlas

Suami yang baik senantiasa ikhlas dalam melakukan segala sesuatunya, apalagi dalam hal memberikan nafkah kepada keluarganya sendiri. Pemberian yang ikhlas, tentunya melegakan bagi penerimanya. Istri akan merasa lega dan bahagia, jika suami memberikan nafkahnya dengan tulus ikhlas. Nafkahnya diberikan seraya mengharap keridhaan Allah SWT selaku pemberi rizqi.[17]

Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya kamu tidaklah menafkahkan harta yang semata-mata karena mengharap ridha Allah, melainkan kamu akan diberi pahala hingga sesuap makanan yang masuk ke mulut istrimu” (HR. Bukhari dan Muslim).

Betapa besarnya pahala yang bakal diterima oleh suami jika dia mmeberikan nafkah kepada keluarganya dengan niat yang ikhlas, semata-mata mengharap ridha Allah SWT. Ia akan diberi pahala sampai setiap suap makanan yang masuk ke mulut istri dan anak-anaknya. Di dunia ini ia akan mmeperoleh kebahagiaan bersama istri dan anak-anaknya, dan di akhirat akan memperoleh kenikmatan syurga.

Rasulullah SAW menjelaskan, bahwa nafkah yang diberikan kepada keluarganya sendiri dengan tulus ikhlas adalah termasuk amal shadaqah. Hal ini disebutkan dalan hadis:

“Apabila suami memberikan nafkah kepada istrinya secara ikhlas, maka nafkah itu menjadi shadaqah” (HR. Bukhari).

  1. 5.             Memberikan Nafkah yang Halal
  2. a.             Nafkah adalah Pangkal Baik Buruknya Peribadatan Keluarga

Makanan yang kita makan akan menumbuhkan sel-sel baru dan menggantikan sel-sel lama yang telah rusak. Dari sari-sari makanan akan menjadi unsur-unsur darah, otak, daging, tulang balulang dan organ-organ tubuh lainnya. Darah yang terbentuk dari sari makanan yang haram, akan mengalir ke seluruh tubuh, sehingga seluruh organ tubuh akan dialiri dengan makanan yang haram. Hatinya dialiri darah haram, hati diliputi darah haram dan seluruh organ tubuh kita pun menjadi tubuh yang haram.

Selain itu, mungkinkah anak-anak yang lahir dari tubuh yang haram, dibesarkan dengan makanan yang haram, dipakaikan pakaian yang haram dan pendidikannya dibiayai dengan biaya yang haram, mereka akan tumbuh dewasa menjadi anak yang shalih dan shalihah?

Semua itu harus kita pikirkan secara serius! Sebuah peribahsa mengatakan: “Akibat setitik nila, rusaklah suus sebelanga”. Akibat setitik rizqi yang haram, jika sampai mencampuri nafkah yang halal, akan haramlah keseluruhan rizqinya.

Sebaliknya, dengan nafkah yang halal, makanan yang dibelinya pun halal, pakaiannya halal, perlengkapan ibadahnya halal, perabot rumah tangganya halal, biaya pendidikan anak-anaknya halal. Semua yang diperoleh dengan nafkah halal, akan menjadi barang-barang yang halal pula.

Selanjutnya kita bisa beribadah dengan secara khusyu’, semua anggota keluarga bisa beribadah dengan baik, anak-anak bisa belajar dengan baik, bisa berpikir dengan jernih, bisa merasakan betapa besar keagungan Allah, betapa besar nikmat Allah yang dianugerahkan kepada kita, bisa mensyukuri Nikmat dst.

Dengan nafkah yang halal, akhirnya kebahagiaan hidup di dunia lebih dapat diharapkan dan kebahagiaan hidup di akhirat pun lebih dapat kita yakini akan diperolehnya. Alangkah bahagianya, sebuah keluarga dihidupi nafkah yang halal.[18]

Allah SWT hanya memerintahkan kepada kita agar memakan makanan yang halal dan baik, sebagaimana difirmankan dalam Al-Qur’an:

“ Dan makanlah makanan yang halal dan baik dari rizqi yang telah Allah anugerahkan kepada kalian…” (QS. Al-Maidah : 88).

 

 

 

  1. b.             Mencari Nafkah yang Halal adalah Amal yang Paling Afdhal

Alangkah bahagianya seseorang yang dapat bekerja mencari nafkah yang halal dan diridhai oleh Tuhannya. Sehingga pekerjaan yang bertujuan untuk kepentingan dunianya pun termasuk amal yang paling afdhal. Rasulullah SAW bersabda:

“Amal yang paling afdhal di muka bumi ini ada tiga yaitu: menuntut ilmu, memperjuangkan agama Allah (jihad) dan mencari nafkah yang halal”. (Al Hadis).[19]

Akhirnya suami hendaknya benar-benar memegangi sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:

“(Wahai para suami), bertakwalah kepada Allah dalam memperlakukan para perempuan. Sesungguhnya kalian mengambil mereka (sebagai istri) berdasarkan amanat Allah, kalian halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Dan kewajibanmu adalah memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan baik” (HR. Muslim).[20]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

KESIMPULAN

 

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan hadis tentang hak istri atas suami diriwayatkan oleh Abu Daud yaitu hadis no. 1830 dalam Kitab Nikah, Bab Hak Istri atas Suami. Setahu penulis yang mengeluarkan hadis ini selain Abu Daud adalah Ahmad yaitu hadis no. 19171, Kitab Musnad Penduduk Bashrah, Bab Hadits Bahz bin Hakim dari Ayahnya dari Kakeknya Radliyallahu ta’ala ‘anhuma. Barangkali ini kekurangan dari penulis karena belum menemukan takhrij lain dari hadis ini. Ketika hadis ini di tahqiq oleh Al-Albani, kualitas hadis ini adalah hasan shahih.

Berdasarkan referensi lain, khususnya buku “Membimbing Istri Mendampingi Suami” karya Fuad Kauma dan Nipan dapat dipahami bahwa dalam keluarga, sandang, pangan, dan papan menjadi tanggung jawab suami. Suami adalah pemimpin bagi istrinya sekaligus bertanggung jawab memenuhi nafkah keluarganya sebagaimana sebagaimana difirmankan Allah dalam Surah An-Nisa : 34.

Kadar nafkah keluarga seharusnya disesuaikan dengan kemampuan suami serta suami tidak kikir dan berlebihan dalam membelanjakan karena sifat tersebut sangat dicela oleh Islam. Suami hendaknya tulus ikhlas dalam memberikan nafkah karena berdasarkan hadis Imam Muslim bahwa apabila suami memberikan nafkah secara tulus ikhlas maka nafkah itu menjadi shadaqah.

Selain itu suami juga harus memberi nafkah yang halal karena nafkah adalah pangkal baik buruknya peribadatan keluarga. Dengan nafkah yang halal, kebahagiaan hidup di dunia lebih dapat diharapkan dan kehidupan di akhirat pun lebih dapat kita yakini akan diperolehnya. Mencari nafkah yang halal adalah amal yang paling afdhal dimana hal ini sudah diterangkan dalam hadis

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Kauma, Fuad, dan Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997.

Musa, Kamil, Suami Istri Islami, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997.

Shabbagh,Mahmud Al, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.

Subki, Ali Yusuf As, Fiqih Keluarga, Jakarta : Amzah, 2010.

Maktabah Syamilah

Lidwa Pustaka

http://bicarathtl.forumms.net/t243-20-konflik-lazim-dalam-keluarga-4-20-1-tabiat-suami-yang-memukul-isterinya-bah-3

 


[1] Fuad Kauma  dan  Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 80

[2] Ali Yusuf As-Subkhi, Fiqih Keluarga, Jakarta: Amzah, 2010, hlm. 183

[3] Ali Yusuf As-Subkhi, Fiqih Keluarga, Jakarta: Amzah, 2010, hlm. 186

 

[4] Lidwa Pustaka

[5] Maktabah Syamilah

[6] Lidwa Pustaka

[8] Lidwa Pustaka

[9] Mahmud al-Shabbagh, Tuntunan Keluarga Bahagia Menuju Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993, hlm. 128-129

[10] Kamil Musa, Suami-Istri Islami, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997, hlm. 28

[11] Fuad Kauma  dan  Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 80

[12] Kamil Musa, Suami-Istri Islami, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997, hlm. 29

[13] Fuad Kauma  dan  Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 81

[14] Fuad Kauma  dan  Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 82

[15] Fuad Kauma  dan  Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 84

[16] Fuad Kauma  dan  Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 86

[17] Fuad Kauma  dan  Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 87

 

[18] Fuad Kauma  dan  Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 91

[19] Fuad Kauma  dan  Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 92

[20] Fuad Kauma  dan  Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 93

Posted in Uncategorized | Leave a comment